Aura Bagus?
Hari
itu saya dan seorang partner in crime saya, kita sebut saja dia si Hort, sedang
menjalankan tugas mulia dari umm..kita sebut saja si Rufus. Tugas ini begitu
mulia sampai-sampai kita rela naik motor di bawah terik matahari khas pukul Sembilan.
Eh tapi itu masih masuk vitamin D kan? Ah tapi enak juga sih, jalan-jalan saat
yang lain lagi belajar. Tapi kan sekalipun matahari khas pukul Sembilan gak
terlalu nyakitin kulit, kan tetap saja panas. Huft.
Jujur
rasanya seperti mau terbang saat bersama si Hort saat itu. Eits, ini bukan
terbang karena baru saja di kasih rayuan gombal yang meluluhlantahkan hati dan
membuat jantung mendobrak ingin keluar dari tempatnya. Ini karena cara Hort
membawa motor yang sudah bisa disetarakan dengan pembalap kelas rata-rata (Para
pembalap yang mau rekrut dia, silahkan aja ya. Kalo perlu bawa jauh-jauh deh!).
Intinya gak bakalan ada yang mau disupirin untuk kedua kalinya sama si Hort ini
deh.
Beberapa
dekade kemudian, kita akhirnya sampai di TKP pertama. Pantat saya udah nyaris
kram gara-gara kelamaan duduk. Mana duduknya tegang lagi karena selama
perjalanan harus mempertahankan keseimbangan dan meremas besi pinggiran sadel
motor dengan kekuatan penuh supaya nggak terbawa angin. Resiko cewek ringan?
Cih! Ini kan gara-gara cara nyetir si ojek Hort yang bikin dag-dig-dug-mpret
itu. Hort bilang, kita harus ambil rute paling jauh duluan supaya nggak bolak-balik.
Saya sih setuju saja, kan hanya ojek yang tau rutenya. Jujur saja, kalo Hort
ngeculik saya saat itu pasti saya nggak sadar kalo lagi diculik. Yaiyalah,
orang saya tidak hafal rute kawasan itu. Oke, kembali ke TKP. Lokasi pertama ini cukup berada di
pedalaman ternyata, karena si ojek Hort rada bingung saat mencari tempat ini. Beruntung
kami berhasil sampai di situ dengan selamat. Langsung saja saya berlagak sok
ngebuka helm dengan niat keliatan kayak cewek berhijab yang ternyata adalah
anggota geng motor. Tapi niat itu hancur begitu saja saat helm itu tidak bisa
di buka. Menyadari saya yang tidak mengekor di belakang Hort (yang sudah berjalan
duluan), dia balik lagi dan membantu saya melepaskan helm. Dengan jarak dekat
begini, jantung saya jadi dag-dig-dug-mpret lagi. Eits, sayang sekali ini bukan
karena Hort yang sedang melakukan hal yang seharusnya dilakukannya sejak tadi. Namun
hal ini dikarenakan oknum yang sedang melintas di balik punggung Hort dengan
segelas minuman dingin di tangannya. INILAH YANG KUBUTUHKAN SEJAK TADI! Dan
setelah oknum dengan minuman dingin itu menoleh ke arah saya, barulah saya
sadar kalau itu adalah teman seperjuangan saya selama menempuh pendidikan di
jenjang SMP/MTs/Sederajat, yang kali ini kita sebut saja dia dengan nama Aric. Aric
langsung melambai sambil berseru,
“Halo
Yustika!”
HALO
JUGA MINUMAN DINGIN! Ingin sekali berseru begitu, namun yang keluar dari
mulut saya tentulah berbeda. Jangan pernah
mengikuti kata hati yang blo’on itu. Well, saya membalas sapaan Aric dan
membicarakan perihal kedatangan kami di wilayahnya itu. Dia mempertemukan kami
dengan si Welly (maap mbak lexie xu, nama orang-orangannya saya pinjam), yang
langsung membawa kami ke orang-orang yang ingin kami temui. Ternyata TKP
pertama cukup mengecewakan. Karena tak ingin buang-buang waktu, saya dan Hort
segera menuju TKP ke dua.
Lagi-lagi
dihadapkan dengan terik matahari yang mungkin sudah bukan vitamin lagi. Belum
lama tiba di TKP ke dua, kami sudah dilanda kekecewaan lagi. Orang-orang yang
kami ingin temui sedang ada rapat diluar wilayah (aka lagi ol..r.g.). Kami pun
segera menuju TKP ke tiga. TKP ke tiga aliggg! Alamakk! Saya saja yang tidak
pedulian sama wilayah orang langsung komat-kamit bilang ‘homina-homina ala
Spongebob’ saat melihat bagian depan tempat itu yang kece amat, Hort saja sampe
ketawa karena mendengar gumaman rada norak yang saya lontarkan itu. Tapi para
rakyatnya gak bikin homina sama sekali, bagusan juga rakyat di wilayah saya. Oke,
kedatangan kami di TKP ke tiga lumayan membuat kami tersenyum puas.
Kami
pun menuju ke TKP ke empat. Disinilah konflik utamanya dimulai (kayaknya sih). Baru
saja masuk gerbang, kami sudah dicegat oleh bapak-bapak(yang sepertinya menuju
kakek-kakek) berbaju koko putih, peci putih, lengkap dengan rambut ubanan juga
dan duduk sambil memegang tongkat. Dia pun berkata,
“aura
bajunya bagus ya”
Sontak
saya dan Hort langsung menoleh keheranan dan cengar-cengir absurd alig. Maksud
kakek ini apa ya? Apa akan ada hal aneh terjadi dalam waktu dekat ini? Kami pun
mengabaikan dan melewati kakek itu. Kami segera masuk dan bertemu dengan Chalina dan Damian (lagi-lagi
pinjam orang-orangan mbak lexie xu lagi). Buset dah, Damian bak puncak gunung
saja, tinggi-tinggi sekale. Dengan kepala yang nyaris botak, kulit putih, kacamata
dan tubuh tinggi, cowok ini hampir saja terlihat seperti sebatang korek api
cupu berjalan kalo saja tubuhnya tidak rada berisi. Tapi bisa saja dia jadi sebatang
korek api salah cetak yang keliatan panjang namun rada lebar (ini apa sih?).
Yang udah gagal paham, ada baiknya jangan mikir deh. Nanti otak kalian berasap.
Oke,
TKP ini juga agak mengecewakan sih. Tapi setidaknya Damian dan Chalina
memberikan tawaran lumayan bagus yang langsung kami setujui. Selanjutnya kami
segera berangkat ke TKP ke tiga lagi, dan mendapati kekecewaan yang sama
seperti di TKP ke empat tadi, namun sekaligus mendapat tawaran lumayan bagus
yang kami setujui juga. Akhirnya, selesai sudah urusan kami. Giliran kami
bertanya-tanya, dimanakah Amir dan Martinus sekarang berada? Sejak awal berangkat
menuju ke TKP-TKP tadi, kita memang bersama-sama. Tapi mereka berdua hilang
jejak (bukan, saya dan Hort yang menghilangkankan jejak kayaknya) karena kalah
laju dengan si ojek Hort yang notabene seorang calon pembalap. Tak butuh waktu
lama, kita akhirnya berpapasan di jalan dan langsung memutuskan untuk minum es
kelapa muda yang mungkin dipetik dari pepohonan kelapa terbaik di wilayah ini. Atau
ini hanya efek haus badai ditambah rasa lapar yang mulai menyeruak dari perut
sixpack saya ini. Setelah menyelesaikan break-lunch, kami langsung melakukan
arus balik ke wilayah kami. Dan saat itulah mimpi buruk terjadi.
Seperti
biasa, Hort melaju dengan kecepatan yang membuat jantungku dag-dig-dug-mpret
lagi. Tapi jujur, walaupun cara nyupirnya yang seperti sedang bermain
Quidditch, perjalanan kami sejak tadi terasa aman-aman saja, tentu saja sampai…sebuah
sepeda motor yang di kendarai oleh sebut saja Andre dengan Eliza duduk manis di
belakangnya, melaju ke arah kami. Sialnya, bagian depan sepeda motor itu sudah
menyentuh kaki jenjang milik saya ini. Tidak seperti cewek-cewek lain yang akan
langsung teriak-teriak histeris saat nyawanya sudah di ujung tanduk seperti
ini, saya memilih untuk tetap diam dan tenang (namun dengan jantung yang
dag-dig-dug-mpret-alig-alamak dan tangan yang ngeramas besi peinggiran sadel
motor dengan kekuatan super penuh saking tegangnya). Kini saya sedang
membayangkan diri sendiri sedang terbaring di rumah sakit dan divonis amnesia
oleh dokter karena kepala saya yang membentur aspal walaupun sudah pake helm
(jangan-jangan helmnya tidak berlabel SNI!) yang disertai luka-luka di sekujur
tubuh. Motor yang kami kendarai sudah oleng sekali, kini saya sadari bahwa itu
adalah hari terakhir kami di alam dunia. Yah sisi positifnya kan kalo kita end
di hari itu yang merupakan hari yang penuh barokah, yup Jum’at, endnya jadi kayak
penuh berkah gitu. Ok, ini bukan kabar baik sama sekali. Jadi saya menunggu
malaikat maut akan terbang ke sini dan membawa nyawa saya dan Hort terbang, but
nothing happen. Maksud saya bukan nothing happen juga sih, Hort mengelak dengan
gaya pembalapnya yang langsung menyelamatkan kita dari situasi mematikan itu.
Kulihat Amir dan Martinus memaki-maki Andre dan Eliza dengan tampang super
bengis. Dari posisi saya di belakang, bisa telihat gerak-gerik yang menunjukan Hort juga sedang
memasang ekspresi yang sama dengan mereka. Sedangkan saya hanya diam, tentu saja
dengan tangan yang memerah akibat terjepit sadel motor saat Hort sedang
mengelak tadi. Tapi syukurlah kita belum bertemu malaikat maut kali ini. Hort meminta
maaf karena situasi menegangkan tadi (tapi ini bukan salahnya kok) yang
langsung saja saya maafkan. Dia meminta untuk tidak menceritakan insiden itu
pada siapapun. Tapi tentu saja hal itu sudah dengan senang hati saya bocorkan
pada sobat-sobat saya untuk berbangga diri (hampir mati kok bangga?). Dan
sengaja juga saya tulis di blog ini karena ini trip yang menarik sekaligus karena
sudah lama saya tidak ngepost lagi di sini. Maap ya buat para pembaca (emangnya
ada ya?), maap juga buat Hort dan makasih udah ngasih trip yang menegangkan
yang bikin jantung saya dag-dig-dug-mpret-alig-alamak.
Sekian
curhatannya. Cheers!
4 komentar
Funny moment.
BalasHapusFunny moment.
BalasHapusabsurd bat :D semangat posting lagi
BalasHapuswah ada yang baca :")
Hapus